Pesantren atau sekolah umum yah, tanya tetanggaku suatu pagi. Maksudnya ia bingung memilih sekolah untuk anaknya yang telah lulus SD itu dilanjutkan ke mana. Satu sisi ia cenderung kepada sekolah umum yang dianggap sudah mapan dan gratis pula. Namun ragu dengan masalah pergaulannya. Ia khawatir anaknya terjerumus dengan pergaulan yang tidak baik. Karenanya ia berharap kepada pesantren yang dianggap mampu mendidik santri-santrinya agar memiliki akhlak yang baik.
Ibu ini meyakini kalau di pesantren jarang terdengar santri-santrinya terlibat tawuran dan pergaulan yang menghawatirkan. Karenanya ia berharap anaknya akan mendapatkan dua hal sekaligus: moralitas dan formalitas. Moralitas tentu maksudnya anaknya akan memperoleh bimbingan yang intensif siang an malam karena tinggal di asrama. Hal ini mirip dengan pendidikan boarding school di negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika. Adapun sisi formalitasnya, karena pesantren mengadakan pendidikan SMP dan SMA jika menginduk kepada Diknas, sementara Madrasah Tsanawiyah dan Madrasa Aliyah bila menginduk kepada Depag.
Ibu muda yang suaminya guru agama itu merasa khawatir anaknya tidak mengerti agama dengan baik. Apa kata dunia, kalau bapaknya kyai anaknya gak ngerti sama sekali masalah agama, begitulah kira-kira anggapan ibu ini. Ada dua hal yang bisa saya tangkap dari pertanyaan itu, pertama, ada semacam keraguan sekaligus harapan kalau anaknya masuk pesantren akan memiliki moral yang cukup, namun ia ragu mampukah pesantren memberikan bekal si anak untuk bisa bersaing dalam perlombaan profesi dan pekerjaan di masa depan, karena tantangan ke depan bukan saja generasi yang bermoral tetapi yang menguasai iptek. Ditambah lagi, meskipun si ibu ini sangat percaya bahwa nasib dan rezeki ada di tangan Tuhan. Tetapi nasib dan rezeki kalau tidak di ikhtiari (diusahakan) akan berabe jadinya.
Pesantren Sebagai Alternatif Dari masalah yang saya tangkap dari ibu tadi, menurut saya, pesantren merupakan pendidikan yang sudah cukup tua, dan hingga kini sistem boarding shool ala Nahdlatul Ulama ini masih tetap eksis dan mendapat kepercayaan masyarakat luas. Tidak bisa menutup mata, kalau banyak lulusan pesantren memiliki integritas kebangsaan yang kuat, pemahaman keagamaan yang mumpuni serta memiliki sikap egaliter dan menerima segala perbedaan dan menghormati keragaman. Sebut saja, almarhum KH. Ahmad Dahlan, tokoh Muhamadiyah, kemudian KH. Wahab Chasbullah, tokoh NU dan generasi kemudian seperti Cak Nur, Gus Dur, dan murid-murid dari dua tokoh ini. Kenapa pesantren yang umumnya di bawah naungan Nahdlatul Ulama mampu melahirkan generasi yang menerima perbedaan dan cenderung tidak keras dalam menyikapi paham keagamaan, sementara di sisi lain ada generasi muda yang terlibat terorisme yang juga diinspirasi oleh agama. Satu hal yang saya lihat, karena masalah sumber literasinya.
Di berbagai pesantren NU, masalah sumber belajar (kitab-kitab klasik) tidak dibatasi oleh gurunya. Berbagai penafsiran tentang ayat-ayat suci jumlahnya ratusan dan itu bebas dikaji. Disamping itu, masalah perbedaan ajaran agama, sangat dianjurkan oleh gurunya untuk toleran. Satu contoh yang mendasar, misalnya bagi santri baru diajarkan enam pilar keimanan dan lima pilar ajaran inti agama islam. Selain itu tidak ada sistem doktriner. Masing-masing santri dibuka wawasan keagamaannya berdasarkan sumber yang TIDAK DIBATASI. Lulusan Santri Memang lulusan santri sebagaimana lulusan SMA masih dalam tahap pencarian, belum bisa diandalkan.
Tidak serta merta mereka ahli dan mumpuni dalam keagamaan.Yang bisa diandalkan hanyalah konsistensi dalam pelaksanaan keagamaan, dan biasanya penguasaan bahasa Arab/Inggris bagi pesantren yang fokus dalam pengkajian ini. Karena masing-masing pesantren pun tidak sama dalam hal disiplin dan tata aturannya, karenanya ada istilah pesantren salafi, ada pesantren modern. Yang salafi, murni mengaji tidak ada sekolah sedangkan yang modern, pelajaran umum menjadi pokok sementara sisa waktu digunakan untuk pendidikan pesantren. Lulusan dua model pesantren ini tentu berada. Kepada yang yang modern akan bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi umum dan tidak ada kesulitan penyesuaiannya.
Sementara yang salafi akan ketinggalan karena hanya murni menguasai kajian keagamaan. Nah, biasanya lulusan pesantren itu baru muncul kemampuannya dan terlihat pemikirannya setelah mereka berkecimpung di perguruan tinggi. Sikap-sikap yang kadang di luar jalur sudah tampak dari sini. Hingga pada akhirnya, kita bisa melihat bagaimana tokoh-tokoh lulusan pesantren itu ada di berbagai bidang keahlian. Contoh saja Gus Dur, Cak Nur, Ulil, Kang Abik dll. Kemampuan mereka tampak di atas rata-rata lulusan dari sekolah biasa. Namun demikian, tulisan ini bukan berarti ingin mengatakan lulusan pesantren lebih baik dari lulusan sekolah umum. Semua berlaku kepada hukum man jadda wajada, siapa yang menanam dia akan menuai. Semoga bermanfaat.
Sumber : http://www.kompasiana.com/kurtubi/pesantren-atau-sekolah-umum_55000318a333117b6f50f983