Jakarta -Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
akhirnya sepakat untuk membahas lebih lanjut Rancangan Undang-undang
(RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). UU tersebut adalah
landasan hukum bagi pemerintah untuk penanganan ketika terjadi krisis
ekonomi.
Substansi pembahasan terdapat pada sisi Daftar Inventarisir Masalah (DIM). Ada setidaknya 315 DIM yang harus diputuskan, di samping 70 DIM yang sudah disepakati dan 23 DIM yang masih harus diperbaiki secara redaksional.
Salah satu pembahasan yang diperkirakan alot adalah pengambil keputusan ketika terjadinya krisis. Terutama saat sebuah lembaga keuangan seperti perbankan harus diselamatkan karena persoalan likuiditas.
Komisi XI DPR beranggapan bahwa Presiden harus menjadi penanggung jawab utama. Meskipun proses eksekusinya nanti melibatkan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
"Kita mau Presiden yang tanggung jawab. Jadi Presiden itu sebagai penentu bahwa negara krisis atau tidak itu presiden. Fraksi DPR semua setuju Presiden yang harus tanggung jawab," tegas Ketua Komisi XI, Fadel Muhammad di Gedung DPR, Senin malam (30/11/2015)
Fadel menilai, posisi Presiden memang layak untuk mengemban tanggung jawab tersebut. Seperti halnya yang terjadi di beberapa negara maju, seperti Jepang dan Inggris serta beberapa negara lainnya.
"Di tempat lain juga Presiden, misalnya Jepang dan Inggris. Bebannya buat mereka, nggak orang perorang," ujarnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memiliki pandangan berbeda. Meskipun, tidak menyalahkan pandangan dari anggota dewan. Sebab ketika keputusan pemerintah berkaitan dengan uang negara, maka perlu dipertimbangkan pemegang keputusannya.
"Ini masih dibahas. Ketika keputusan melibatkan uang publik, memang perlu dipikirkan siapa yang mengambil keputusan. Kalau penambahan modal oleh bank atau LPS sendiri nggak masalah. Tapi kalau begitu pakai uang negara, kami tentukan provisi yang mengambil kebijakan itu," jelas Bambang pada kesempatan yang sama.
Pembahasan ini dilakukan pada level panitia kerja (panja) yang rencananya akan dilangsungkan di Hotel Intercontinental, Jakarta. Dari pihak DPR dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi XI Prakosa, sedangkan dari pemerintah adalah Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara.
Mekanisme pembahasa dibagi atas beberapa kelompok. Pertama adalah kelompok tetap yang akan membahas subtansi persoalan, bukan pasal per pasal. Tujuannya agar aturan yang muncul tidak saling berbenturan.
Selanjutnya adalah kelompok untuk redaksional. Ini yang nantinya akan meneliti lebih rinci, pasal per pasal, agar sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku. Pola seperti ini sama halnya dengan yang berlangsung dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Terakhir adalah sisi simulasi undang-undang (UU). Menurut Bambang, bagian tersebut penting bagi pengambil keputusan. Agar tidak ada kesalahan yang semua skenario yang munkin muncul, bisa diketahui solusinya.
Berikut adalah materi pembahasan RUU JPSK:
1. Pencabutan Perppu JPSK
- Sudah selesai
2. Ruang lingkup
Sistem keuangan meliputi lembaga, pasar, dan infrastruktur keuangan dengan tujuan untuk mencegah domina effect, meliputi:
- Permasalahan pada sistem pembayaran
- Permsalahan likuiditas yang mengarah kepada insolvensi lembaga keuangan sehingga memicu contangion
- Permsalahan likuiditas di pasar uang
3. Penyelenggara JPSK
a. Penyelenggara
- Koordinasi dalam rangka pemantauan dan stabilitas sistem keuangan dilakukan oleh KSSK,
- Penanganan krisis dilakukan oleh Dewan Manajemen Krisis.
b. Pemantauan dan mitigasi risiko terhadap stanilitas sistem keuangan (SSK):
- SSK ditangani oleh berbagai lembaga/otoritas keuangan karena itu harus ada mandat atau wewenang yang jelas: BI, OJK, Kemenkeu dengan catatan di Jepang ada salah satu mandat Kemenkeu adalahprevention of systemic Risk of Fianncial Market melaui financial stabilitation division.
- Keterhubungan antara kondisi perusahaan/ firm specific dan system issues; micro prudential, macro prudential, dan bussiness conduct.
- Koordinasi antar otoritas dan pertukaran informasi; BI, OJK, Kemenkeu, dan LPS.
- Penetapan Bank SIB dan non SIB.
- Recovery and resolution plan; OJK, BI, dan LPS.
- InterVensi awal terhadap permasalahan SSK: bantuan likuiditas, peran BI sebagai Lender of Resort).
c. Penanganan krisis;
- Mekanisme manajemen krisis,
- Dewan Manajeemn Krisis,
- Penetapan credible contingency plan,
- Penjaminan data nasabah,
- Penanganan melalui private solution, dan
- Penggunaan dana publik
4. Penetapan dampak sistemik, mengikuti mekanisme manajemen krisis (3a)
5. Penanganan masalah bank melalui private solution
- Mengikuti penanganan krisis poin 3e
- Sinkronisasi dengan UU LPS dan OJK
6. Penanganan masalah likuiditas
- Mengikuti penanganan krisis poin 3f
- Sinkronisasi dengan UU LPS dan OJK
7. Penanganan Masalah Solvabilitas
- Mengikuti penanganan krisis poin 3e
- Sinkronisasi dengan UU OJK
8. Penanganan permasalahan sejumlah bank yang berjumlah masif
- Perlu penegasan fungsi LPS sebagai lembaga penjaminan dan sebagai lembaga penanganan bank gagal (bank resolution), baik yang berdampak sistematik maupun non-sistematik sesuai UU LPS
9. Perlindungan hukum untuk KSSK
- Tersirat adanya keengganan pengambilan keputusan (misalnya pengambilan keputusan dengan musyawarah tanpa hak veto) sehingga perlindungan hukum perlu dipertegas.
Sumber: http://finance.detik.com/read/2015/12/01/075754/3084545/5/haruskah-presiden-jadi-penanggungjawab-krisis
Substansi pembahasan terdapat pada sisi Daftar Inventarisir Masalah (DIM). Ada setidaknya 315 DIM yang harus diputuskan, di samping 70 DIM yang sudah disepakati dan 23 DIM yang masih harus diperbaiki secara redaksional.
Salah satu pembahasan yang diperkirakan alot adalah pengambil keputusan ketika terjadinya krisis. Terutama saat sebuah lembaga keuangan seperti perbankan harus diselamatkan karena persoalan likuiditas.
Komisi XI DPR beranggapan bahwa Presiden harus menjadi penanggung jawab utama. Meskipun proses eksekusinya nanti melibatkan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
"Kita mau Presiden yang tanggung jawab. Jadi Presiden itu sebagai penentu bahwa negara krisis atau tidak itu presiden. Fraksi DPR semua setuju Presiden yang harus tanggung jawab," tegas Ketua Komisi XI, Fadel Muhammad di Gedung DPR, Senin malam (30/11/2015)
Fadel menilai, posisi Presiden memang layak untuk mengemban tanggung jawab tersebut. Seperti halnya yang terjadi di beberapa negara maju, seperti Jepang dan Inggris serta beberapa negara lainnya.
"Di tempat lain juga Presiden, misalnya Jepang dan Inggris. Bebannya buat mereka, nggak orang perorang," ujarnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memiliki pandangan berbeda. Meskipun, tidak menyalahkan pandangan dari anggota dewan. Sebab ketika keputusan pemerintah berkaitan dengan uang negara, maka perlu dipertimbangkan pemegang keputusannya.
"Ini masih dibahas. Ketika keputusan melibatkan uang publik, memang perlu dipikirkan siapa yang mengambil keputusan. Kalau penambahan modal oleh bank atau LPS sendiri nggak masalah. Tapi kalau begitu pakai uang negara, kami tentukan provisi yang mengambil kebijakan itu," jelas Bambang pada kesempatan yang sama.
Pembahasan ini dilakukan pada level panitia kerja (panja) yang rencananya akan dilangsungkan di Hotel Intercontinental, Jakarta. Dari pihak DPR dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi XI Prakosa, sedangkan dari pemerintah adalah Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara.
Mekanisme pembahasa dibagi atas beberapa kelompok. Pertama adalah kelompok tetap yang akan membahas subtansi persoalan, bukan pasal per pasal. Tujuannya agar aturan yang muncul tidak saling berbenturan.
Selanjutnya adalah kelompok untuk redaksional. Ini yang nantinya akan meneliti lebih rinci, pasal per pasal, agar sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku. Pola seperti ini sama halnya dengan yang berlangsung dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Terakhir adalah sisi simulasi undang-undang (UU). Menurut Bambang, bagian tersebut penting bagi pengambil keputusan. Agar tidak ada kesalahan yang semua skenario yang munkin muncul, bisa diketahui solusinya.
Berikut adalah materi pembahasan RUU JPSK:
1. Pencabutan Perppu JPSK
- Sudah selesai
2. Ruang lingkup
Sistem keuangan meliputi lembaga, pasar, dan infrastruktur keuangan dengan tujuan untuk mencegah domina effect, meliputi:
- Permasalahan pada sistem pembayaran
- Permsalahan likuiditas yang mengarah kepada insolvensi lembaga keuangan sehingga memicu contangion
- Permsalahan likuiditas di pasar uang
3. Penyelenggara JPSK
a. Penyelenggara
- Koordinasi dalam rangka pemantauan dan stabilitas sistem keuangan dilakukan oleh KSSK,
- Penanganan krisis dilakukan oleh Dewan Manajemen Krisis.
b. Pemantauan dan mitigasi risiko terhadap stanilitas sistem keuangan (SSK):
- SSK ditangani oleh berbagai lembaga/otoritas keuangan karena itu harus ada mandat atau wewenang yang jelas: BI, OJK, Kemenkeu dengan catatan di Jepang ada salah satu mandat Kemenkeu adalahprevention of systemic Risk of Fianncial Market melaui financial stabilitation division.
- Keterhubungan antara kondisi perusahaan/ firm specific dan system issues; micro prudential, macro prudential, dan bussiness conduct.
- Koordinasi antar otoritas dan pertukaran informasi; BI, OJK, Kemenkeu, dan LPS.
- Penetapan Bank SIB dan non SIB.
- Recovery and resolution plan; OJK, BI, dan LPS.
- InterVensi awal terhadap permasalahan SSK: bantuan likuiditas, peran BI sebagai Lender of Resort).
c. Penanganan krisis;
- Mekanisme manajemen krisis,
- Dewan Manajeemn Krisis,
- Penetapan credible contingency plan,
- Penjaminan data nasabah,
- Penanganan melalui private solution, dan
- Penggunaan dana publik
4. Penetapan dampak sistemik, mengikuti mekanisme manajemen krisis (3a)
5. Penanganan masalah bank melalui private solution
- Mengikuti penanganan krisis poin 3e
- Sinkronisasi dengan UU LPS dan OJK
6. Penanganan masalah likuiditas
- Mengikuti penanganan krisis poin 3f
- Sinkronisasi dengan UU LPS dan OJK
7. Penanganan Masalah Solvabilitas
- Mengikuti penanganan krisis poin 3e
- Sinkronisasi dengan UU OJK
8. Penanganan permasalahan sejumlah bank yang berjumlah masif
- Perlu penegasan fungsi LPS sebagai lembaga penjaminan dan sebagai lembaga penanganan bank gagal (bank resolution), baik yang berdampak sistematik maupun non-sistematik sesuai UU LPS
9. Perlindungan hukum untuk KSSK
- Tersirat adanya keengganan pengambilan keputusan (misalnya pengambilan keputusan dengan musyawarah tanpa hak veto) sehingga perlindungan hukum perlu dipertegas.
Sumber: http://finance.detik.com/read/2015/12/01/075754/3084545/5/haruskah-presiden-jadi-penanggungjawab-krisis