Memakai Hijab Memang Panas, Tapi Jauh Lebih Panans Dari Pada Api Neraka

MBAK gak merasa kepanasan ya?” sebuah suara perempuan tiba-tiba mengejutkanku. Seorang mahasiswi menyapaku di depan ruang jasa foto-kopi di kampus.
“Pake begitu kan bisa bikin gerah,” perempuan itu kembali mengejarku dengan pertanyaan. Sempat kulirik, kedua matanya tak lepas menyapu seluruh pakaian yang kubiarkan menjutai hingga ke bawah.
Seperti biasa, aku memakai stelan jubah longgar yang kupadu dengan jilbab besar hingga menutupi kedua tanganku. Mungkin dia memperhatikan pakaian yang kupakai.
Sambil tersenyum, aku balik menatap. Seorang gadis berjilbab pendek dan transparan. Bajunyapun ketat. Ia juga memakai celana yang semuanya menampakkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Yup, inilah stylelist muslimah zaman sekarang. Jilbab gaul dan trendy, kata sebagian orang.
Dengan ramah, aku menjawab pertanyaannya, “Iya panas juga sih. Tapi tidak masalah kalau sudah terbiasa,” ujarku tersenyum. “Lagipula, daripada panasnya Neraka lebih baik panas di sini lho,” imbuhku santun.

Memakai Hijab Memang Panas, Tapi Jauh Lebih Panans Dari Pada Api Neraka
Sejenak ia terdiam dalam tatapanku. Hingga akhirnya ia juga mengangguk sambil tersenyum. Kujabat tangannya, kini aku hendak pamit. Foto-kopi tugas makalah sudah beres. Ia kembali tersenyum.
Entah apa di pikirannya saat ini. Jelasnya, aku merasa plong bisa menjawab satu di antara puluhan pertanyaan yang biasa menghampiriku.
Dari kejauhan suara merdu azan Dzuhur sudah berkumandang memanggil orang-orang beriman menuju kemenangan. Saya bergegas ke masjid.

Budaya Arab?
Boleh jadi ilustrasi dialog di atas pernah dialami beberapa orang Muslimah. Kisah yang kerap menghampiri para Muslimah yang mencoba istiqamah berhijab sesuai tuntunan syariat. Sejumlah gelar dan stigma negatif seolah menjadi sarapan wajib mereka. Mulai dari julukanninja, teroris hingga mendapat sorakan “Aisyah Ayat-Ayat Cinta”.
Komentar sinis juga tak henti menerpa, bahwa baju dan jilbab lebar tersebut cocoknya di negeri Timur Tengah sebagai budaya Arab, bukan dipakai di Indonesia.
Tak kalah beratnya dari pihak keluarga, sebagian orangtua dan keluarga masih menentang niat para Muslimah yang ingin menyempurnakan hijabnya. Alasan susah dapat jodoh, sempit peluang kerja, hingga kepada anggapan susah bergaul di lingkungan keluarga.
Di kalangan sebaya pun demikian. Para Muslimah tersebut siap-siap dijuluki kayak emak-emak, rempong, sok suci, sok alim, belum pantas , dan sebagainya.

Please Don’t Bully Me
Dalam proses perjalanan keimanan seorang Muslimah, memakai hijab syar’i tentu menjadi awal langkah yang baik. Memilik pakaian termasuk pilihan dari pandangan hidup. Hatta, mereka hobi telanjang di tempat umum (nudist) meski itu jelas tindakan amoral, jika ditanya alasannya, ujungnya pasti untuk ‘menunjukkan identitas dan ideologi’. Yang pasti ‘ideologi ketelanjangan’.
Dalam buku “Dress and Ideology- Fashioning Identity from Antiquity to the Present”, orang Barat sendiri meyakini,  gaun dan fashion adalah sarana visual yang kuat untuk mengkomunikasikan ideologi, politik, sosial atau agama seseorang atau kelompok.
Bahkan selama Revolusi Prancis, memakai celana atau gaun bisa melambangkan ortodoksi ideologis dan pemberontakan. Revolusi Prancis tahun 1789 dan Revolusi Amerika, ditandai kemerdekaanya tahun 1776 salah satunya perobahan gaya hidup; mode rambut dan pakaian.

Bahkan Bennett, A. (2005) pernah mengatakan, “Fashion menyediakan salah satu cara yang paling siap di mana individu dapat membuat pernyataan visual yang ekspresif tentang identitas mereka.”
Karena itu, jika pilihan saya dengan jilbab panjang (jilbab syar’i) juga pasti dengan pilihan yang tidak sembarangan. Sebab pilihan ini didasarkan firman Allah;
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya …” (QS. An-Nur [24]: 31).

Selain itu, dasar lainnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (Swt) ;
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab [33]: 59).

Inilah landasan terkuat, mengapa menurut saya seorang Muslimah harus berhijab. Ada perintah Allah yang tertuang jelas dalam al-Qur’an. Siapa yang menuruti perintah-Nya, niscaya Allah mencintainya.
Sedang yang melanggar perintahnya, maka bersiaplah menerima murka Allah. Untuk itu, tolong jangan usik dan hakimi para Muslimah yang sedang mencoba menyempurnakan hijabnya. Sebab itulah upaya mereka untuk taat kepada perintah Rabbnya, Sang Pencipta.

Selalu berharap menjadi wanita shalehah adalah alasan utama seorang Muslimah berhijab, termasuk saya. Dengan hijab yang benar, Muslimah itu belajar taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Dengan hijab yang syar’i, Muslimah itu belajar menjaga ifffah (kesucian) dirinya. Dengan hijab yang sesuai, Muslimah itu belajar akhlak dan beradab.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (Saw) bersabda: “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim). Jadi panas atau gerah, ini adalah pilihan.
Untukmu Saudariku
Terakhir, izinkan aku berbagi nasihat kepada diriku dan saudariku sekalian;
Bukan aku baik sehingga aku berhijab. Justru dengan hijabku, aku berusaha agar bisa melangkah dalam kebaikan.
Bukan karena aku suci sehingga aku berhijab. Namun dengan hijabku, aku berusaha menjaga kesucian.
Bukan karena aku santun sehingga aku berhijab. Namun dengan hijabku, aku berusaha menjadi pribadi yang santun.
Bukan karena aku berpemahaman luas sehingga aku berhijab. Namun dengan hijabku, aku berusaha meluaskan pemahaman.
Bukan karena aku alim sehingga aku berhijab. Namun dengan hijabku, aku berusaha menjadi sosok yang alim.
Oleh karena itu, bukan salah hijabku jika aku khilaf dan berbuat salah. Akupun berusaha memperbaiki diri menjadi seorang muslimah yang kaffah, demi taatku kepada Rabbku.
*/ Mustabsyirah Syammar, pengurus An-Nisa Hidayatullah Samarinda
Sumber : http://www.sebarkanlah.com/panasnya-hijabku-lebih-baik-dibandingkan-panasnya-neraka