Inilah
Ulasan Wanita Dalam Olah Raga
2.1. Perbedaan Fisik Pria dan Wanita
Terdapat perbedaan jelas dalam aspek anatomi antara
wanita dan pria, tetapi kurang jelas dalam aspek fisiologi. Perbedaan anatomi
ini menyebab-kan pria lebih mampu melakukan kegiatan jasmani dan olahraga yang
memerlukan kekuatan dan dimensi lain yang lebih besar. Tetapi banyak dari
perbedaan ini dapat diubah oleh latihan jasmani sehingga parameter fisiologik
wanita yang terlatih dapat melampaui parameter pria yang kurang terlatih.
Bagian besar dari perbedaan antar jenis kelamin ini tidak relevan dalam
olahraga, oleh karena dalam olahraga wanita (biasanya) bertanding di antara
sesama wanita.
Pada orang dewasa, dimensi fisik pria rata-rata 7-10%
lebih besar dari pada wanita. Perbedaan ukuran itu pada anak-anak sangat
sedikit sampai usia pubertas, di kala itu untuk sementara anak-anak perempuan
bahkan lebih tinggi dan lebih besar dari pada anak-anak laki-laki. Hal ini
disebabkan oleh karena awal pubertas yang lebih dini pada anak perempuan (9-13
tahun) dari pada anak laki-laki (10-14 tahun) dengan waktu yang lebih panjang
pula. Di bawah pengaruh hormon pria testosteron, laki-laki tumbuh lebih tinggi,
dengan gelang bahu yang lebih luas, panggul yang lebih sempit dan tungkai yang
lebih panjang. Wanita, melalui pengaruh hormon oestrogen berkembang dengan bahu
yang lebih sempit, panggul yang lebih luas relatif terhadap tinggi badannya dan
„carrying angle‟ yang lebih besar pada sendi siku, yang mengakibatkan kerugian
mekanik bagi lari dan melempar.
Oestrogen pada wanita juga berperan dalam penimbunan
lemak pada tempat-tempat tertentu selama masa pubertas, sedangkan testosteron
merangsang perkembangan otot pada pria. Bila dinyatakan dalam prosenta-se dari
berat badannya, wanita dewasa memiliki lemak sekitar dua kali lebih banyak dari
pada pria.
Walaupun laki-laki mendapatkan massa otot
yang lebih besar dan oleh karena itu juga power total yang lebih besar, tetapi
kekuatan otot bila dinyatakan dalam satuan luas penampang melintang otot adalah
sama untuk kedua jenis kelamin. Wanita lebih flexibel dari pada pria dan hal
ini disebabkan oleh karena tingkat basal hormon relaxin yang lebih tinggi.
Hormon ini selama kehamilan disekresikan dalam kadar tinggi, sehingga wanita
hamil memang menjadi lebih tinggi flexibilitasnya, dan hal ini memang diperlukan
untuk memudahkan proses persalinannya.
Pria mempunyai darah yang kurang-lebih satu liter
lebih banyak dari pada wanita, dengan kadar hemoglobin yang lebih tinggi pula
(15.8 g.L-1 + 0.9 lawan 13.9 g.L-1 + 1.1). Dimensi jantung pada pria adalah
lebih besar sehingga volume sedenyutnya juga lebih besar, volume paru
kurang-lebih 10% lebih besar dari pada wanita. Wanita mempunyai nadi istirahat
yang sedikit lebih tinggi, meski denyut jantung maximal sesuai umur sama untuk
kedua jenis kelamin.
2.2. Kapasitas Latihan Pada Wanita dan Gangguan Menstruasi
Banyak penelitian-penelitian terhadap kapasitas fisik
wanita dilakukan pada subjek yang kurang terlatih, sehingga menunjukkan
kapasitas kerja yang relatif buruk, dan ini dimasa lalu menjadi pembatas bagi wanita
untuk berpartisipasi dalam olahraga. Tetapi wanita sungguh dapat dilatih dan
perbedaan parameter fisiologik antara wanita dan pria yang terlatih menjadi
lebih kecil dari pada orang kebanyakan. Fakta pada orang kebanyakan inilah yang
dijadikan petanda rendahnya tingkat keterlatihan pada „kebanyak-an„ wanita.
Latihan kekuatan yang terpimpin dan sistematis
merupakan kegiatan yang menyehatkan dan menggembirakan anak-anak wanita, karena
di balik latihan itu tersimpan potensi untuk meningkatkan densitas tulang
sehingga merupakan pencegahan osteoporosis di kemudian hari. Di samping itu
dengan latihan kekuatan yang sistematik, wanita dapat meningkatkan diameter
serabut otot dan massa total ototnya, tetapi tidak dapat menyamai apa yang
dicapai pria oleh karena kadar testosteronnya yang relatif lebih rendah. Pada
awalnya peningkatan kekuatan otot dapat terjadi tanpa meningkatnya ukuran otot,
dan hal ini disebabkan oleh karena membaiknya pengerahan satuan neuromuskular
sebagai hasil pelatihan.
Kandungan lemak yang pada umumnya lebih tinggi pada wanita tidak
menghasilkan perbaikan olahdaya (metabolisme) lemak pada event olahraga
daya-tahan misalnya maraton, sebagai-mana yang dahulu diyakini. Lemak tubuh
yang tinggi pada wanita menjadi hambatan bagi kegiatan fisik yang bersifat
weight bearing (mengusung beban/ berat badan), tetapi hal itu meningkatkan daya
apung pada renang, dan menjadi faktor keunggulan penampilan perenang-perenang
“jarak ultra jauh” wanita (Sharp 1984).
Kandungan lemak tubuh dengan latihan kekuatan akan menurun yang berarti
membaiknya rasio BB tanpa lemak terhadap BB dengan lemak yang merupakan respons
terhadap latihan. Banyak atlet daya-tahan wanita mempunyai kandungan lemak yang
nyata lebih sedikit dari pada atlet power pria. Untuk wanita, hasil yang
diharapkan dengan latihan kekuatan adalah menghasilkan tubuh yang lebih ramping
dan lebih sehat yang akan membuatnya menjadi lebih tahan terhadap cedera
olahraga.
Gangguan menstruasi
Sekitar 20 tahun yang lalu menstruasi selalu menjadi
kendala bagi kaum wanita indonesia untuk aktif berolahraga, terutama
dilingkungan pendidikan jasmani. Keadaan tersebut sampai sekarang masih
mempengaruhi sebagian peserta didik, terutaama bagi peserta didik yang
pengetahuan olahraga dan kesehatannya minim.
Bagi kaum wanita yang sudah aktif berolahraga,
pengetahuan tentang olahraga dan kesehatan relatif baik, menstruasi sudah bukan
lagi menjadi kendala, malah sebaliknya. Kegiatan olahraga bagi kaum wanita pada
zaman sekarang justru merupakan salah satu kegiatan yang sangat bermanfaat saat
mereka menderita akibat haid, karena berbagai gangguan; perasaan tidak enak,
sakit, rasa tidak enak pada payudara dan kecemasan jadi berkurang.
Hasil kuisioner pada banyak atlet wanita sejak puluhan tahun yang lalu
menurut Phul dan Brown yang disajikan oleh Saantosa Girirwijoyo dan kawan-kawan
(2007) menunjukkan bahwa mereka mampu tampil sama baiknya ketika akan dan
sedang menstruasi.
Suatu kenyataan bahwa dikalangan atlet wanita sering
terjadi gangguan siklus menstruasi, gangguan termaksud ada yang jumlah
menstruasinya pertahun berkurang atau sama sekali tidak ada menstruasi.
Kemudian para atlet wanita juga sering terjadi siklus menstruasi, tetapi untuk
mengetahuinya secara pasti sangat sulit, karena ada banyak variabel yang
mempengaruhinya. Di antara sekian banyak variabel termaksud yang sudah
disepakati baru dalam tataran difinisi istilah berikut.
- Eumenorrhoea yaitu siklus menstruasi yang terjadi dengan interval perdarahan yang terjadi antara 21-35 hari.
- Oligomenorrhoea yaitu menstruasi yang terjadi dengan interval antara 35-90 hari
- Amenorrhoea adalah tidak terjadi menstruasi dalam waktu 3 bulan berturut-turut. Hasil beberapa ahli menunjukkan bahwa atlet yang berusia di bawah 25 tahun lebih besar kemungkinannya mengalami amenorrhoea. Kemudian hasil penelitian para ahli juga menunjukkan bahwa, faktor-faktor yang secara umum ditemukan pada kelompok atlet yang mengalami perubahan menstruasi akibat aktivitas olahraga oleh Santosa Giriwijoyo dan kawan-kawan (2007) dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Faktor-faktor yang berhubungan siklus menstruasi
|
|
Menstruasi yang tertunda
|
Menstruasi yang tidak teratur
|
Kematangan
proses reproduksi
Usia
dewasa
Ibu-ibu
Peningkatan
BB
Peningkatan
lemak tubuh
Peningkatan
aktivitas bertahap
Latihan
dengan intensitas rendah
|
Usia muda
Penurunan
BB
Penurunan
lemak tubuh
Tata gizi
rendah kalori
Latihan
dengan volume & intensitas tinggi
Beban
kerja meningkat cepat
Stress
psikologi
|
2.3. Wanita dalam Olahraga
Tidak ada satupun wanita terlahir yang secara otomatis
mendapatkan status sebagai olahragawan atau atlet. Status partisipan olahraga
hanya diperoleh melalui tindakan yang ditunjukkan dengan perbuatannya pada
aktivitas olahraga. Hal ini yang membedakan dengan status bangsawan (raden ,
roro) yang secara otomatis dimiliki ketika seseorang dilahirkan. Dapat
dikatakan bahwa status atlet, yang dimiliki wanita, merupakan achieved-status
yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang
disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran (ascribe-status).
Achieved status bersifat terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan
masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya. Dari konsep ini
stratifikasi sosial akan terjadi. Semua wanita memiliki kesempatan sama untuk
memperoleh status tertentu di masyarakat, tetapi karena kemampuan dan
pengalaman berbeda berdampak pada lahirnya tingkatan-tingkatan status yang akan
diperoleh wanita dalam partisipasinya di olahraga. Bagaimanapun juga setiap
wanita berolahraga menginginkan prestise dan derajat sosial dalam kehidupan di
masyarakatnya. Bukan sebagai pengakuan atas keberadaannya oleh anggota
kelompok, melainkan sebgai salah satu tuntutan kebutuhan untuk harga diri dan
atau self-esteem (Teori kebutuhan menurut Maslow). Peningkatan status
sosial wanita berolahraga memaksakannya untuk terus memobilisasi setiap
tindakan. Mobilitas sebagai salah satu peningkatan status sosial menurut Ralph
H. Turner memiliki dua bentuk yaitu:
a. Contest mobility (mobilitas sosial berdasarkan persaingan
pribadi),
b. Sponsored mobility (mobilitas sosial berdasarkan dukungan).
Dengan mencermati bentuk mobilitas maka pemberian
status sosial kepada wanita berolahraga hendaknya mampu diberikan sesuai porsi
proses yang telah dilakukannya. Hal ini mungkin berdampak kepada proses
menghilangkan perbedaan pemberian penghargaan diantara atlet pria dan wanita
yang sama-sama menjadi juara di kelompoknya (gender). Misalnya sejumlah
hadiah yang masih dibedakan diberikan antara kelompok putra dengan putri. Meski
mungkin pertimbangannya adalah ketika pertandingan putra sering melahirkan
tindakan yang lebih akrobatik, atraktif, skill tinggi (jika dibandingkan dengan
kelompok putri), terlebih jika didramatisir oleh pers yang secara jumlah memang
kaum pria di kalngan pers lebih banyak yang tentu saja akan selalu memberikan
dukungan lebih pada sesamanya, yang berdampak pada semakin banyaknya jumlah
penonton dan secara otomatis pemasukan keuntungan dari penjualan karcispun
lebih besar.
Terlepas dari itu, status wanita berolahraga memang
masih menempati porsi lebih rendah dari kaum pria. Anekdotnya bisa dikatakan
karena wanita kalah “start”. Semenjak zaman Yunani dan Romawi, sebagai perintis
olahraga modern, wanita belum memperoleh kesempatan yang luas dibandingkan
pria, bahkan dilarangnya berpartisipasi meski sebenarnya telah memiliki
kemampuan yang sama dengan pria (dari beberapa mitolog Artemis dan Athena,
Theseus, Hippolyta).
2.4. Peranan Wanita dalam Olahraga
Peranan (role) merupakan
dinamika dari status atau penggunaan dari hak dan kewajiban (Susanto, 1985),
aspek dinamis kedudukan (status) (Soekanto, 1990). Sehingga apabila wanita
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia
menjalankan suatu peranan. Peranan mungkin mencakup tiga hal yaitu :
1. Meliputi norma-norma yang
dihubungkan dengan posisi seseorang, serangkaian
peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
2. Konsep tentang apa yang dapat dilakukan
oleh individu dalam masyarakat sebagai
organisasi.
3. Perilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.
Peranan dengan status keduanya tak dapat
dipisah-pisahkan, karena yang satu tergantung kepada yang lain dan sebaliknya.
Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Maka sudah
selayaknya seorang wanita partisipan olahraga yang telah berbuat sesuai norma
di masyarakat, berperilaku di masyarakat sebagai organisasi (resmi dan
tidaknya, olahraga adalah sebuah organisasi), dan merupakan struktur sosial
masyarakat mendapat peranan sosial dari kedudukannya sebagai wanita yang
berolahraga. Hanya saja sering dilupakan bahwa dalam interaksi sosial yang
paling penting adalah melaksanakan peranan. Tidak jarang terjadi bahwa
kedudukan lebih diutamakan sehingga terjadi hubungan-hubungan timpang yang tidak
seharusnya terjadi. Contoh dalam dunia olahraga, peranan manajer yang melebihi
kekuasaan pelatih dalam menentukan siapa atlet yang harus bertanding, peranan
atlet profesional yang tidak mencerminkan jati dirinya sebagai olahragawan yang
menjunjung sportivitas (fair play). Sehingga lebih cenderung mementingkan bahwa
suatu pihak hanya mempunyai hak saja, sedang pihak lainnya hanyalah mempunyai
kewajiban belaka.
Dalam dunia olahraga ketimpangan ini menyebabkan
terjadinya ketidakmerataan kesempatan. Wanita hanya dijadikan sebagai faktor
pendukung yang keberadaannya bukan prioritas, bukan yang utama. Misalnya
dalam beberapa kasus olahraga profesional, wanita hanya sebagai objek pelengkap
seperti umbrella girls di otomotif sports, atau pemandu sorak dalam beberapa
olahraga.
Permainan hingga status dan peranannya bukan sebagai
“bintang”, tidak pula sebagai pemain utama. Ketimpangan-ketimpangan yang lebih
luas terjadi pada masyarakat partisipan aktivitas tertentu, termasuk aktivitas
olahraga, akibat ketidaksesuaian harapan (dalam konteks olahraga Indonesia
rasanya lebih tepat dikatakan tuntutan) dengan peranan terhadap peranan yang
tepat dalam menduduki suatu status (Davis, 1948) terjadi karena :
1. Harapan masyarakat kurang memperhatikan
tindakan sebenarnya atau sebaliknya,
2. Apabila harapan masyarakat akan
tindakannya diketahui, akan tetapi waktu dan situasi
tidak memungkinkan bagi individu yang bersangkutan,
3. Apabila pemenuhan harapan masyarakat di
luar kemampuan individu.
Masyarakat olahraga Indonesia masih kuat dengan konsep
kalah menang, bahwa suatu pertandingan hanya sebatas pemenang dan
pecundang. Sehingga identik dengan menyamaratakan status tanpa memahami peranan
yang diemban. Kita menyamakan status atlet kita dengan atlet dunia, tanpa
mengerti proses untuk memperoleh status terlebih peranannya seperti apa. Dunia
olahraga wanita lebih memperoleh “kesialan” dari konsep ini. Kita lebih tahu
bahwa tim putri kita adalah pecundang tanpa mengerti siapa lawannya dan proses
untuk menjadi pecundang (karena kita memang kalah start dalam proses pembinaan
olahraga wanita). Tim sepakbola kita lebih banyak kalahnya, tim bulutangkis
semakin terpuruk, berpindahnya pebulutangkis putri harapan kita ke negara lain,
ketidakmampuan induk olahraga dalam proses regenerasi atlet wanita. Ini semua
adalah trend yang semakin memperburuk persepsi masyarakat terhadap aktivitas
wanita berolahraga. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan kesempatan.
Menururt Coakley (1990) dari beberapa kasus bahwa wanita masih memiliki sedikit
kesempatan dibandingkan pria, terutama di kota-kota kecil dan wilayah pedesaan.
Yang lebih sering terjadi adalah kekurangan, diantaranya dalam hal :
1. Persediaan dan pemeliharaan peralatan dan
penyebarannya,
2. Penjadwalan pertandingan dan waktu
latihan,
3. Kesempatan memperoleh pelatihan dan tutor
akademik,
4. Penugasan dan kompensasi pelatih dan tutor
5. Ketersediaan obat-obatan dan pelayanan
latihan serta fasilitas
6. Publisitas bagi secara individu, team, dan
event.
Harusnya Indonesia memiliki keuntungan dalam hal
kesempatan wanita berolahraga, karena negara ini dipimpin oleh seorang
perempuan juga, yang secara karakter psikis lebih menonjolkan perasaan. Wanita
pun berkeinginan sama untuk mendapat penghargaan selayaknya pria. Hanya proses
ke arah itu tidak berkesempatan sama dengan yang dimiliki pria karena terkait kebijakan
yang dihasilkan adalah kesepakatan dominasi pria yang duduk di lembaga
legislatif dan eksekutif. Seandainya presiden negara ini berprioritas
pada peningkatan sumber daya perempuan (bukan sebatas retorika) denga tegas
memberikan ascribe status dan achieved status sebagai
individu yang berhak mendapatkan kesempatan dan penghargaan yang sama dengan
lawan jenisnya. Dengan pertimbangan perspektif sosiologis sebagai acuan dalam
membicarakan kedudukan dan peran atlet di masyarakat seperti yang dikemukakan
Dr. Vassiliki Avgerinou dari Swiss dalam makalahnya Kedudukan dan Peran
Atlet di Masyarakat , yaitu :
1. Keberadaan atlet di masyarakat serta
pribadi atlet sebagai individu dipandang sebagai
bagiandari pola-pola sosial; dan perasaan-perasaan mereka didasari
oleh peraturan-
peraturan yang berlaku.
2. Individu yang hidup dalam suatu pranata
sosial dan lingkungan masyarakat akan
terlibat kegiatan dan tindakan di dalam kehidupan sehari-harinya.
3. Sebagai individu yang rasional, seseorang
mampu mengevaluasi tindakannya secara
intelektual.
Hal inilah yang setidaknya memberikan kontribusi bagi
pemikiran agar status dan peranan wanita dalam olahraga memperoleh porsi yang
lebih luas lagi menyerupai kesempatan yang diperoleh pria. Wanita tidak lagi
berada di belakang dalam startnya untuk memperoleh status dan peranan sosial di
masyarakat dibandingkan kaum pria. Faktor pendukung ke hal itu adalah kesadaran
seluruh masyarakat. Bahwa bagaimanapun juga suatu keberhasilan yang
meningkatkan status bangsa di dunia internasional adalah buah kerja sama antara
pria dengan wanita. Andai saja bangsa ini adalah negara yang menghormati
sejarah serta terus mengenangnya, kita diingatkan pada prestasi tertinggi yang
diperoleh duta-duta bangsa dalam olimpiade 1996 saat pertama kalinya lagu
kebangsaan Indonesia Raya berkumandang adalah buah kerja keras seorang wanita
bernama Susi Susanti. Wanitalah sebenarnya yang menjadi perintis bagi KONI
untuk terus mencanangkan upaya mendulang medali pada olimpiade-olimpiade
berikutnya. Hanya saya kita adalah masyarakat hedonis yang bersuka cita sesaat
tanpa mampu mengambil makna dari setiap peristiwa yang mampu menorehkan
prestasi spektakuler. Yang pada akhirnya kita tetap lupa (atau mungkin
mengabaikan) akan “kemashuran” atlet wanita yang berhasil mencetak prestasi
melebihi kaum pria. Sehingga status dan peranan wanita dalam olahraga masih
terus berada di belakang kaum pria. Coakley (1990) mengungkapkan pula bahwa
masih adanya mitos yang keliru dan masih dipegang oleh masyarakat, terutama
terjadi pada negara-negara yang tingkat pendidikan dan informasi medik masih
rendah :
1. Keikutsertaan yang berat dalam olahraga
mungkin menjadi penyebab utama masalah
kemampuan menghasilkan keturunan.
2. Aktivitas pada beberapa event olahraga
dapat merusak organ reproduksi atau payudara
wanita.
3. Wanita memiliki struktur tulang yang lebih
rapuh dibandingkan pria sehingga lebih
mudah mengalami cedera.
4. Keterlibatan intens dalam olahraga
menyebabkan masalah pada menstruasi.
5. Keterlibatan dalam olahraga membawa ke
arah perkembangan yang kurang menarik,
menonjolkan otot.
Alasan-alasan inilah yang memperburuk persepsi
masyarakat terhadap keterlibatan wanita dalam olahraga yang secara langsung
berpengaruh pada pemberian status dan peranan sosial wanita dalam kehidupannya
secara khusus di bidang olahraga dan umumnya di kehidupan keseharian di
masyarakat di mana pola-pola interaksi sosial berlaku di lingkungannya.
Terlepas dari itu semua, bagaimanapun juga semakin banyak wanita yang menyukai
kegiatan fisik dengan tingkat penampilannya yang terus meningkat. Walaupun
terdapat masalah kesehatan khusus yang berhubungan dengan fungsi reproduksinya
yang unik, tetapi manfaatnya bagi kesehatan dan pergaulan sosial, jauh melebihi
pengaruh-pengaruh merugikan yang terjadi selama ini (Giriwijoyo, 2003 : 45).
2.5. Perbedaan Gender dalam Olahraga
Diskriminasi terhadap wanita dalam olahraga baru
didokumentasikan dan dianggap sebagai masalah pada tahun 1970-an. Di mana tim
olahraga wanita menerima dana yang lebih rendah dari tim pria. Tahun 1974
budget program olahraga pria lima kali lipat budget untuk wanita. Bahkan pada
tingkat Universitas perbedaannya sampai 100 kali lipat (Women Sport, 1974).
Diskriminasi terlihat dalam hal fasilitas dan peralatan. Wanita menggunakan
gedung olahraga yang usang di mana pria dibuatkan gedung yang baru. Wanita
memakai peralatan bekas tim pria, jika tidak ada yang bekas terkadang tim
wanita tidak mempunyai apa-apa. Dalam menggunakan fasilitas yang sama, wanita
mendapatkan giliran jadual yang tidak fair.
Wanita tidak mendapatkan perhatian yang cukup mengenai
latihan seperti halnya pria. Sering kali untuk menuju ke pertandingannya, tim
wanita harus menggunakan bis padahal tim pria mendapatkan pelayanan pesawat.
Liputan media untuk berita tentang olahlraga wanita juga kurang, padahal
olahraga pria selalu mendapatkan perhatian media surat kabar, radio bahkan
televisi. Sampai adanya persamaan pada setiap bidang di atas, maka wanita tidak
bisa dikatakan mendapatkan peluang yang sama dengan pria dalam program sekolah.
Pada tingkat masyarakat, meski partisipasi olahraga
wanita telah meningkat, diskriminasi masih kentara. Misalnya pada penggunaan
fasilitas, program yang tersedia dan pengurus yang ditugaskan untuk kegiatan
olahraga wanita. Hal ini juga terjadi untuk tingkat olahraga amatir nasional.
1) Mempertahankan Perbedaan Mitos
a. Mitos Fisiologi
Adanya kepercayaan bahwa partisipasi olahraga
menyebabkan efek fisik yang berbahaya bagi wanita. Mitos ini meliputi hal-hal
sebagai berikut:
- Partisipasi yang keras dalam olahraga dapat mengganggu kemampuan untuk melahirkan, Hal ini disebabkan bahwa latihan fisik akan memperkeras otot pelvis, sehingga tidak akan cukup fieksibel untuk melahirkan secara normal.
- Aktivitas pada beberapa cabang olahraga dapat merusak organ reproduksi dan payudara wanita. Mitos ini tetap ada meskipun uterus adalah organ internal yang sangat anti getaran dan lebih terlindung dibanding organ vital pria.
- Struktur tulang wanita lebih lemah, sehingga akan memudahkan terjadinya cedera. Meski ukuran tubuh wanita umumnya lebih kecil dari pada pria, namun tulang mereka tidak lebih lemah. Bahkan, karena berat badan dan berat otot wanita lebih ringan, maka tulang mereka menghadapi bahaya yang lebih sedikit dibanding pria.
- Keterlibatan yang aktif membuat masalah pada menstruasi. Menurut para ginekolog, "aktivitas olahraga tidak mempengaruhi menstruasi." (Wyrick, 1974). Memang bagi atlet dalam periode latihan yang keras, sering mengalami keterlambatan menstruasi. Namun hal ini disebabkan oleh kurangnya persentasi lemak tubuh, Jadi masalah ini akan hilang jika latihan ketat ini berakhir. Penari balet professional sering mengalami perubahan siklus menstruasi, namun hal ini juga berakhir jika latihan ketat mereka dihentikan.
- Keterlibatan dalam olahraga mengakibatkan timbulnya otot yang menonjol dan tidak menarik. Padahal suatu tubuh yang dikondisikan dengan baik akan menjadi menarik. Kondisi fisik yang baik ini juga akan meningkatkan image tubuh dan meningkatnya sifat responsif fisik. Otot yang menonjol dihasilkan oleh hormon androgen yang lebih banyak terdapat pada kaum pada. Namun hal ini bervariasi antar individu.
Kelima mitos tersebut, jelas sangat tidak beralasan
bagi wanita untuk tidak berpartisipasi dalam olahraga, sehingga upaya untuk
menghindari orang yang masih menganut mitos tersebut di atas, adalah melalui
pendidikan. Jadi pendidikan adalah penting untuk menghilangkan mitos yang tidak
berdasarkan ilmu pengetahuan ini.
b. Mitos Performansi
Pola diskriminasi juga terlihat dengan argumentasi
bahwa wanita tidak bisa tampil lebih baik dari pria. Hal ini sangat menghambat
karena akan membatasi peluang, sehingga membatasi wanita untuk membangun
kemampuannya. Sebelum masa puber, perbedaan performansi antara anak laki-laki
dan perempuan disebabkan oleh pengalaman bukan oleh faktor fisik ataupun
potensi performansinya. Bahkan wanita rnempunyai keuntungan yang lebih baik
karena mereka lebih cepat dewasa. Setelah masa puber, keuntungan ada di pihak
pria karena hormon dan perbedaan pertumbuhan yang menyebabkan rata-rata pria
lebih besar dan lebih kuat dari rata-rata wanita. Hal ini bisa digunakan
sebagai dasar untuk membagi-bagi olahraga, namun bukan alasan untuk menutup
peluang bagi wanita.
Jika pengalaman dan peluang bagi wanita dan pria sama,
maka perbedaan ini akan hilang secara bertahap. Pada beberapa cabang olahraga
perbedaan ini mungkin akan tetap ada, namun pada cabang-cabang lainnya
perbedaan ini malah bisa terjadi sebaliknya. Misalnya pelari marathon wanita,
Grete Waitz dari Norwegia mencatat waktu 2 jam 25 menit 41 detik pada New York
City Marathon, waktu yang lebih baik dari pemenang pria saat itu. Pada cabang
olahraga yang membutuhkan daya tahan dan bukan kekuatan, maka wanita akan lebih
baik daripada pria. Karena itu tidak masuk akal jika mencegah peluang pria pada
cabang ini, dan juga tidak masuk akal untuk mencegah wanita pada cabang lain
hanya karena ada kemungkinan bahwa pria akan mengunggulinya.
Mitos performansi diperkuat oleh sejarah pembatasan
dan diskriminasi. Mitos ini mulai berkurang, tapi jika individu dan kelompok
yang berpengaruh (seperti IOC) masih menganut hal ini, maka diskriminasi akan
terus berlanjut.
3.1 Kesimpulan
Dalam dunia olahraga masa kini wanita untuk berkompetisi harus didukung
dengan memberikan kesempatan serta pembinaan yang sesuai dalam norma-norma yang
telah disepakati bersama. Wantia tidak hanya penonton, sebagai pemandu dalam
pertandingan serta penyorak melainkan bisa berkompetisi dalam bidang olahraga.
Mitos yang keliru seharusnya sudah dibuang untuk merubah pandangan. Perbedaan
persepsi tidak harus semakin menyudutkan status dan peranan wanita dalam
olahraga melainkan untuk dapat membawa prestasi dan mewujudkan harapan negara.
Semakin banyak wanita yang menyukai kegiatan fisik dengan tingkat penampilannya
yang terus meningkat. Walaupun terdapat masalah kesehatan yang khusus
berhubungan dengan fungsi reproduksinya yang unik, tetapi manfaat olahraga bagi
kesehatan dan pergaulan sosial, jauh melebihi pengaruh-pengaruh merugikan yang
terjadi selama ini. Dengan kata lain wanita mampu bersaing dalam bidang
olagraga dengan kapasitas-kapasitas yang dimilikinya dengan tujuan meraih
prestasi.