Lubang Bekas Tambang Tewaskan 13 Anak Di Samarinda

Tags

Lubang bekas galian aktivitas tambang batu bara di kota Samarinda, Kalimantan Timur, telah merenggut nyawa 13 anak di sepanjang tahun 2015 lalu. Bukan tidak mungkin, korban terus bertambah, mengingat lubang bekas galian emas hitam itu, masih menganga sampai saat ini.

Data penelitian dilansir Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur yang dikutip merdeka.com, kota Samarinda dikepung 232 lubang tambang menganga akibat aktivitas galian tambang batu bara. Hingga tahun 2009 lalu, Pemkot Samarinda telah mengeluarkan 76 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Tidak hanya itu, Samarinda juga dikepung konsesi 5 izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) yang dikeluarkan pemerintah pusat.

Adapun luas konsesi keseluruhan tidak kurang 50.000 hektare atau sekitar 70 persen dari luas kota Samarinda.

"Meskipun data yang disampaikan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur menyebutkan ada 79 lubang menganga bekas tambang, intinya diakui bahwa ada lubang bekas tambang yang menganga," kata Dinamisator JATAM Kalimantan Timur, Merah Johansyah, dalam perbincangan bersama merdeka.com, Minggu (10/1) malam.

Lubang Bekas Tambang Tewaskan 13 Anak Di Samarinda

Dijelaskan Merah, dalam sekian kali pertemuan bersama dengan pemerintah, menyebutkan 36 perusahaan pemegang IUP, kini sudah tidak aktif. Namun demikian, IUP tak kunjung dicabut dan menyisakan lubang yang menganga. Padahal kewajiban perusahaan melakukan reklamasi pascapenambangan.

"Sehingga luas konsesi itu masih sekitar 70-71 persen," ujar Merah.

Belum lama ini, anggota DPR Dapil Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, Hetifah, menemui 13 orang tua anak korban lubang tambang batu bara. Dalam pertemuan itu, terungkap 3 keinginan kuat 13 orangtua beserta JATAM Kalimantan Timur, yang selama ini melakukan advokasi terhadap korban akibat tambang batu bara.

"Ada 3 keinginan kuat orangtua dan JATAM. Pertama, untuk pencegahan, menginventarisir lubang bekas tambang yang begitu dekat dengan pemukiman penduduk, diprioritaskan segera ditutup. Lubang galian dekat pemukiman itu, tidak ada tawar menawar," tegas Merah.

"Keinginan kedua, proses hukum terhadap korporasi, harus terus berjalan. Tidak bisa hanya diselesaikan dengan tali asih atau bantuan lain kepada keluarga anak korban tambang. Proses pidana harus tetap berjalan. Tidak hanya melalui KUHP, tapi juga Undang-undang tentang Lingkungan Hidup. Sedangkan keinginan ketiga, ada pencabutan IUP bagi tambang yang berada di dekat kawasan pemukiman. Tidak ada kompromi," tambahnya.

Mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 04 Tahun 2012 Tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kehiatan Penambangan Terbuka Batu bara, harus berjarak 500 meter tepi lubang galian dengan pemukiman penduduk. Namun kenyataannya, jarak kegiatan hauling tambang hanya berjarak 10 meter, seperti halnya di kawasan Sambutan, Kecamatan Sambutan, Samarinda.

"Kenapa bisa dekat dengan pemukiman. Itu ada sesuatu yang salah dan pengawasan pemerintah tidak jalan. Kalau ketiga keinginan itu tidak dijalankan, akan ada korban anak berikutnya yang meninggal di lubang bekas tambang," demikian Merah.

13 anak korban lubang tambang di Samarinda, umumnya merupakan anak usia sekolah. Korban ke-13, pada 9 Desember 2015 lalu, seorang pelajar SMK di Sangasanga Kutai Kartanegara, ditemukan tidak bernyawa di kolam bekas tambang di kawasan Kecamatan Palaran, Samarinda.
Sumber: http://www.merdeka.com/peristiwa/13-anak-tewas-79-lubang-bekas-tambang-masih-menganga-di-samarinda.html